Bhineka Tunggal Eka sebagai falsafah negara sekarang sudah tidak dihayati oleh bangsa Indonesia. Semakin banyak konflik sosial di sekitar kita, sentimen agama tak pernah lekang sebagamana yang menimpa jamaah Syiah di Sampanug, kaum miilitan melakukan pengeboman di beberapa wilayah, tawuran antar pelajar semakin liar, dan berbagai kasus kekerasan menyita pemberitaan media massa. Menanggapi fenomena tersebut para pemuka masyarakat mengudar pendapat berikut :
Bingky Irawan / Poo Sun Bing – Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia
“Meskipun fenomena sosial yang berkembang sekarang mengkhawatirkan namun saya masih yakin semangat Pancasila dan keBhinnekaan tetap langgeng. Masalahnya tergantung pada diri kita sendiri. Semrawutnya kondisi yang ada sekarang karena kita kurang memahami kaidah ajara agama masing-msing yang mengajarkan tentang cinta kasih, menghormati antar sesama.
Kita harus berani introspeksi pada diri sendiri karena dalam kehidupan kita sehari-hari sampai ajal menjemput kita tidak bisa sendiri. Sejak lahir butuh bidan dan sampai dewasa, tidak bisa lepas dari hubungan orang lain. Begitu juga saat berbisnis, misalnya membuka toko, yang membeli tentu bermacam-macam. Ada yang beragama Budha, Kristen, Islam, dan lain-lain. Malah kalau kita batasi maka bisnisnya justru tidak bisa jalan.”
Ongko Digdojo - Buddhis Education Centre :
Sebetulnya Indonesia sejak dulu sudah dibangun dalam kebersamaan yang begitu rukun. Hanya saja teman-teman mengatakan bahwa penyerahan tongkat estafet yang kita alami tidak dikawal dengan baik, padahal sejak awal kemerdekaan para pendri bangsa sudah meyiapkan landasan yang bagus bagi pengembangan Indonesia ke depan.
Jika saya disuruh menilai tentang dinamika kemasyarakatan yang diwarnai kekerasan sebetulnya yang macam-macam seperti itu kan nggak banyak, secara keseluruhnan bangsa kita masih menjunjung tinggi kebinnekaan. Kalau dirasa mengganggu memang mengganggu tapi kita tidak perlu panik menghadapi dinamika yang sedang berlangsung.
Lalu bagaimana kita membangun harapan? Memang pada waktu mendatang kita membutuhkan kepemimpinan yang kuat, meski membutuhkan waktu namun saya yakin kita akan menemukannya. Hal itu bisa menyimak pemilihan Gubernur Jakarta yang dimenangkan oleh pasangan yang sederhana namun tegas. Saya pikir itulah proses pemulihan Indonesia ke depan.
Bambang Noorsena - Kristen Ortodok Syria :
Menurut saya, dalam konteks pergulatan bangsa di tengah-tengah problem kemajemukan, Pancasila tampil sebagai ideologi yang paling cemerlang, khususnya apabila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain dalam pergulatan nasional mereka, meskipun problem kemajemukan kita jauh lebih kompleks.
Salah satu faktor, kita memiliki pijakan historis dan filosofis yang jauh lebih kuat. Kita bisa membandingkan, Ernest Renan mengucapkan pidatonya yang terkenal Qu’est ce qu’une Nation? –“Apakah suatu Bangsa itu?”, di Universitas Sorbone, Prancis tahun 1882. Renan menekankan bahwa agama tidak bisa menjadi landasan kokoh berdirinya suatu bangsa, mungkin setelah ia melihat perpecahan Belanda dan Belgia, yang salah satu faktornya karena kepentingan wilayah Belgia yang mayoritas Katolik tidak dapat merasa terakomodasi oleh pemerintah pusat Belanda yang mayoritas Protestan.
Dalam hal tumbuhnya kesadaran mengelola kemajemukan masyarakat, di Barat − yang memang relatif sebagai suatu yang sangat baru − dapat dibilang sangat lambat. Kita memiliki pijakan historis yang lebih kokoh. Jauh sebelum Barat menyadarinya, seloka Bhinneka Tunggal Ika, sudah diperkenalkan lebih kurang 600 tahun sebelumnya (1340), bahkan jauh sebelum munculnya kesadaran Pluribus Unum-nya Amerika, karena memang ketika Mpu Tantular menulis karyanya, saat itu Amerika belum lahir.
KH. Agus Sunyoto - Dosen Fak. Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang
Pasca runtuhnya komunisme, kapitalis menjadi satu-satunya pemenang sekaligus penguasa dunia. Tatanan dunia pun diubah dalam konteks hegemoni kapitalis menguasai dunia di mana negara kapitalis melanggengkan imperialismenya dengan menempatkan posisinya sebagai negara pusat (core) yg menjadi tempat bergantung negara-negara dunia kedua dan ketiga yang berkedudukan sebagai negara pinggiran (periphery).
Untuk “menutupi” imperialismenya negara kapitalis merancang tatanan baru sebagaimana dikemukakan Samuel P. Huntington dalam buku The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, di mana pasca runtuhnya komunisme yang terlibat konflik bukan lagi golongan sosialis-komunis yang mewakili proletar dengan golongan kapitalis-liberal yang mewakili borjuis, melainkan yg terlibat konflik adalah peradaban Barat yang diwakili Kristen dan peradaban Timur yg diwakili Islam dan Konfusius.
Begitulah, perang antara Kristen dengan Islam menjadi fenomena di mana-mana dengan akibat langsung dan tidak ada satu orang pun membincangkan sepak terjang kapitalis mencaplok kekayaan negara-negara dunia ketiga.
Gus Luthfi Muhammad – Pengasuh PeNUS Ma’had Teebe Indonesia
Bagi bangsa Indonesia sebenarnya masalah kebhinekaan itu tidak pernah jadi masalah karena kita sudah terbiasa plural. Kebhinekaan itu sunnatullah dan itu sama dengan heterogin. Kalau ada yang menilai pemahaman masyarakat kita atas Pancasil semakin pudar karena masyarakat kita latah. Pertama karena tidak mengerti sejarah, dan kedua latah.
Misalnya, yang bersekolah di Arabia ketika pulang otaknya menjadi Arab. Yang sekolah di Amerika ketika pula jadi American, yang Belanda Nederland, yang Pakistan menjadi Pakistani. Padahal Indonesia itu lebih hebat tapi orang-orang itu.Karena tidak mempelajari sejarah kemudian terperangah pada negara lain.
Sebuah contoh lagi, 10.000 tahun sebelum Masehi sampai 8.000 SM, itu terjadi eksodus besar suku Wajak, yang sekarang lokasinya bernama kawasan Campur Darat di Tulungagung, Jawa Timur. Kelompok itu menunju dua pulau, Aino dan Jumono di Jepang. Kemudian beranak pinak menjadi bangsa Jepang. Memang kadang ada orang yang menyangsikan, apa pendapat saya ini bisa dipercaya? Lho kalau saya ngomong ini masak ndobos ? Tidak mungkin saya ngomong tanpa membaca.
Hadi Pranoto – Ketua DPD KBM – Keluarga Besar Marhaen – Jawa Timur
Namun bagi Indonesia yang pluralistis, yang berkomitmen melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum dan menegakkan hak azasi setiap warga negara melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tertib, damai dan sejahtera, baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap atas perlindungan agama, diri pribadi, kehormatan, martabat dan harta benda.
Maka perseteruan atau benturan antar kelompok masyarakat atau konflik sosial jelas merupakan gangguan Kesalahannya terletak pada terjadinya erosi kesadaran dan keimanan bahwa sebenarnya perbedaan itu semuanya merupakan manifestasi daripada keesaan. Dalam satu keluarga jelas terdapat perbedaan. Selama perbedaan itu tidak dipertajam dan dibenturkan, maka tidak terjadi perceraian. Dari segi keimanan semua agama mengaminkan bahwa Tuhan Pencipta alam semesta dengans egala isinya. Bila kita takut danmenyembah serta menghormati Sang Maha Pencipta, maka kita menghormati sesame ciptaanNya
Strategi kebudayaan yang mesti dikembangkan untuk membangun kesadaran akan keindonesiaan sekarang adalah kembali kepada semangat Trisakti Bung Karno. Berkepribadian dalam budaya, Jelas disesuaikan dengan jamannya. Namun inti dari kepribadian itu adalah tenggang rasa dan gotong royong. Sifat toleransi itu pula yang memungkinkan peradaban Hindu, Budha, Islam, Kristen, bisa diterima dan berkembang secara damai di muka Nusantara ini.
Penulis : Rokim Dakas
Sumber : http://indiependen.com/pancasila-ideologi-paling-cemerlang/